Banten – Diskusi kebangsaan digelar oleh sekelompok pemuda yang menamakan diri Kolase Nusantara yang khawatir pemahaman radikalisme ini merusak generasi muda bangsa. Terutama untuk kalangan remaja yang kehidupannya tak pernah lepas dari media sosial.
Apalagi, pemaparan Badan Intelijen Negara (BIN) menyebut 100 masjid di lingkungan kementerian, lembaga serta BUMN, terdapat 41 masjid yang terindikasi telah terpapar paham radikalisme.
Ketua Perkumpulan Remaja Masjid (Prima) DMI Banten Efi Afifi mengatakan saat ini banyak orang yang memiliki fanatisme terhadap suatu agama tanpa didasari oleh kesadaran berbangsa dan bernegara.
“Fanatisme yang berlebihan terhadap agama tetap harus didasari dengan kesadaran bernegara dan loyalitas terhadap nasionalisme Indonesia,” katanya kepada awak media, Selasa,(22/1).
Dikalangan Remaja yang haus akan spirit spiritual lebih, bibit radikalisme tumbuh subur. Dengan gaya dan metode yang lebih menawan. Maka semestinya pemerintah dari pusat hingga daerah harus berpartisipasi berperan aktif dalam menjaga khusus kawasan masjid.
Tambahnya, politisasi masjid secara tegas kami tolak. Dengan alasan apapun, masjid adalah tempat suci. Tak boleh dikotori hal – hal yang berbau politik praktis. Dan kami siap menjadi garda terdepan untuk melawan para oknum yang mempolitisir masjid. Pemerintah pusat harus terus dikawal dan diapresiasi dalam mengkampayekan islam yang ramah dan menyejukan.
Mudah-mudahan, dituturkan Efi Kolase Nusantara menjadi terobosan baru pemikiran antar kelompok remaja nasionalis dan agama yang perilakunya kadang cenderung radikal.
Senada dengan itu, Ketua Majlis Pemuda Islam Indonesia (MPII) Banten Ucuy Masyhuri mengatakan mencegah radikalisme, pemuda jangan baperan melihat suatu gerakan.
“Jangan melihat gerakan langsung menterjemahkan langsung mendefinisikan lalu menyimpulkan. Kalau istilah teman-teman Islam kiri itu bagaimana? Islam kanan itu bagaimana,” katanya.
Sebab, kata Ucuy, dalam menafsirkan suatu faham radikalisme itu muncul ada beberapa motivasi seperti kekuasaan, dakwah dan bisnis. Saat ini, dikatakan Ucuy bisa saja para kiai menjadi alat pengusaha, alat politisi kemudian melakukan sebuah gerakan.
“Ada lagi kelompok yang katanya nasionalis kalau gak pake peci hitam itu tidak nasionalis, kalau gak senang warna merah putih gak Bhineka Tunggal Ika. Keduanya harus ada alat untuk mempersatukan,” ujarnya.
“Saya tidak setuju juga kalau sikap radikalisme itu ditunjukan kepada kelompok agama saja karena ada faham dan sikap radikal cenderung dilakukan kelompok nasionalis,” tegasnya.
Faham ini harus diluruskan oleh para pemuda lalu disampaikan kepada mereka apapun yang berlebihan dalam suatu faham apapun akan mencelakakan baik mencelakakan ruang maupun orang.
“Sampai kemudian yang rusak adalah sistem baik sistem beragama, berbangsa bernegara bahkan sampai sistem adat. Maka rekomendasi saya pemuda harus hadir memberikan terjemahan utuh apa sih Islam, apa fungsi Pancasila apa fungsi nasionalis jangan sampai kedua kelompok ini berseteru secara terus menerus,” ujarnya.
Sopyan