Jombang-KH. Hasyim Asy’ari lahir di Jombang pada tanggal 14 Februari 1871. Pada tahun 1892 KH. Hasyim Asy’ari belajar ilmu agama di Mekkah, kemudian pada tahun 1899 kembali pulang ke Jombang untuk mendirikan sebuah pondok pesantren yaitu Pondok Pesantren Tebuireng.
Kebesaran tokoh KH. Hasyim Asy’ari tidak perlu diragukan lagi. Pada masa penjajahan Belanda, KH. Hasyim Asyari dikenal sebagai tokoh yang sangat kharismatik. Hal ini membuat pemerintah Hindia Belanda sangat segan kepadanya. Surat kabar Belanda pada tahun 1939 mencatat bahwa KH. Hasyim Asy’ari mengadakan sebuah konferensi besar yang dihadiri oleh 100 ulama di Pondok Pesantren Tebuireng – Jombang. Belanda begitu takjub, karena dalam pertemuan tersebut KH. Hasyim Asy’ari selaku pendiri Nahdatul Ulama mampu menggandeng berbagai organisasi nasional lainnya, di antaranya adalah Parindra, Muhammadiyah, Taman Siswa, dan Perhimpoenan Penghoeloe dan Pegawainya (PPDP).
Pada tahun 1941, KH. Hasyim Asy’ari meminta ijin kepada pemerintah Hindia Belanda untuk undur diri dari jabatannya sebagai pimpinan Nahdatul Ulama karena alasan usia lanjut. Pada saat itu memang demi ketertiban administrasi, maka urusan pergantian struktur organisasi nasional harus mendapat ijin dari pemerintah Hindia Belanda, termasuk juga organisasi Nahdatul Ulama.
Namun pemerintah Hindia Belanda meminta agar KH. Hasyim Asy’ari menunda lebih dulu pengunduran dirinya karena sosok kepemimpinannya yang dianggap belum dapat tergantikan. Undurnya KH. Hasyim Asy’ari dikhawatirkan dapat membuat 1.500 siswa pondok pesantren di Tebuireng serta umat Islam di seluruh Hindia Belanda kehilangan figur pemersatu dan akan mudah terprovokasi. Namun setelah beberapa bulan diyakinkan bahwa sosok penggantinya yaitu KH. Wahid Hasyim adalah putranya sendiri yang tentu memiliki visi persatuan yang sama, maka akhirnya pengunduran diri KH. Hasyim Asy’ari dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang, tepatnya pada tahun 1944, KH. Hasyim Asy’ari dalam usia yang sudah sangat lanjut, ditunjuk sebagai Kepala SHUMUBU atau Departemen Urusan Agama. Ia menggantikan pejabat sebelumnya yaitu Dr. Husein Jayadiningrat.
Pergantian ini dikarenakan menurut pertimbangan pemerintah Jepang, KH. Hasyim Asy’ari lebih mampu diterima oleh kalangan Islam mayoritas daripada Dr. Husein Jayadiningrat yang lebih cocok sebagai tokoh akademisi. Keberadaan KH. Hasyim Asy’ari diharapkan dapat dipakai oleh Jepang untuk mengendalikan umat Islam yang jumlahnya sangat banyak, namun cukup heterogen latar belakang suku, budaya dan alirannya.
Di pihak lain dengan diangkatnya KH. Hasyim Asyari sebagai Kepala SHUMUBU justru menjadi strategi bagi Nahdatul Ulama untuk menggandeng MASYUMI dan mengoptimalkan semangat persatuan bangsa.
Posisi KH. Hasyim Asy’ari menjadikan umat Islam memiliki posisi tawar yang lebih kuat terhadap Jepang untuk menuntut kemerdekaan Indonesia. Kelak SHUMUBU menjadi cikal bakal lahirnya Kementerian Agama di Indonesia, sehingga secara historis keberadaan Kementerian Agama jelas tidak bisa dilepaskan dari perannya yang sangat sentral sebagai wadah perjuangan kemerdekaan NKRI.
Setelah Indonesia merdeka, negara baru ini dihadapkan pada berbagai masalah kemandirian politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam. Dalam situasi yang sulit tersebut, Presiden Sukarno membutuhkan saran dari tokoh-tokoh spiritual.
Maka pada tahun 1947 Presiden Sukarno bersilaturahmi ke Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang untuk meminta saran dan doa kepada KH. Hasyim Asy’ari agar mampu memimpin NKRI dengan penuh hikmat dan kebijaksanaan. Tidak disangka pertemuan itu menjadi pertemuan terakhir antara Presiden Sukarno dengan KH. Hasyim Asy’ari. Ulama besar itu wafat pada tanggal 25 Juli 1947 dan dimakamkan di Tebuireng – Jombang.
Ulasan ini mungkin hanya sebagian kecil dari peran besar seorang KH. Hasyim Asyari bagi Bangsa Indonesia. Dengan segala sumbangsih tersebut, maka sepatutnya nama beliau diharumkan sebagai pahlawan nasional dan tokoh pemersatu Bangsa Indonesia.
Dicky