Dedi Sudarajat,SH.,MH.,MM.,CTA.
(Ketua Umum PP.FSP.KEP.KSPSI)
Pemerintah itu seperti tidak bosan-bosannya membuat kebijakan yang sengsarakan pekerja/buruh. Belum lagi keringat pekerja kering karena menolak UU Omnibus Law Cipta, terbit lagi PP 36/2021 soal formula kenaikan Upah yang menggetirkan, sekarang dihantam lagi dengan terbitnya Permenaker 02/2022 menggantikan Permenaker 19/2015 tentang Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) yang sungguh sadis kepada Buruh/Pekerja.
Bagaimana tidak sadis, dengan aturan baru itu, bagi buruh/pekerja yang di PHK atau menundurkan diri, baru bisa mengambil dana Jaminan Hari Tuanya saat usia pensiun. Jadi kalau buruh/pekerja di-PHK saat berumur 44 tahun maka dia baru bisa ambil dana JHT-nya di usia 56 tahun atau 12 tahun setelah di-PHK. Padahal saat ini dana kelolaan BPJS Tenaga Kerja sudah lebih dari Rp. 550 Trilyun. Dalam peraturan lama, bila ada buruh/pekerja di-PHK atau mengundurkan diri hanya ada masa tunggu 1 bulan saja.
Pertanyaannya, kemana itu dana buruh/pekerja? Sepertinya gerakan buruh/pekerja ini memang perlu menunjuk Auditor Independen untuk melakukan Audit FORENSIK terhadap BPJS Tenaga Kerja, sehingga kita bisa tahu ke mana beredarnya uang buruh/pekerja Rp. 550 Trilyun itu mengingat untuk membayar JHT saja seperti tidak mampu.
Karena itu, KSPSI minta agar Menteri Ketenagakerjaan sekarang juga mencabut peraturan sadis itu dan mengembalikan pada peraturan yang lama. Please, janganlah sadis terhadap orang lemah.
Kejarinfo